Sabtu, 23 Februari 2013

Masa Depan Air Dunia, Masa Depan Kehidupan Kita

-->
Jauh sebelum berkembangnya peradaban modern di seluruh dunia, Thales (624-546 SM) seorang filsuf Yunani Kuno pernah mengajukan sebuah pertanyaan pada masyarakatnya kala itu. Bunyi pertanyaannya jika di terjemahkan ke bahasa Inggris adalah, “What is the nature of the universe?”, atau dalam bahasa Indonesianya, “Apakah inti dari alam semesta ini?”.
Thales pada kala itu menjawab, “Air”.
Ya, pemikiran mengenai pentingnya air bagi kehidupan sudah ada sejak zaman dahulu kala. Bahkan ketika manusia belum menghadapi krisis air seperti saat ini. Thales berpikiran demikian karena dia menyadari bahwa air adalah esensi dari segala makhluk yang hidup di dunia ini. Tanpa adanya air, maka kehidupan tidaklah ada.
Kesadaran di atas adalah kesadaran seorang Thales. Manusia yang walaupun dianggap bijaksana, adalah manusia yang lahir jauh sebelum dunia ini dipenuhi oleh populasi manusia seperti saat ini. Pembangunan industri yang menggila, serta pemanfaatan lahan yang tidak mempertimbangkan masa depan kelesatarian alam.
Pertanyaan yang harus kita jawab oleh diri kita sendiri saat ini adalah. Apakah saat ini, pada saat kita sudah 2,5 millenium lebih modern dari Thales, kita sudah mengerti dan menghargai air?

Kenyataan Kondisi Air Dunia
Pada akhir tahun 2011, populasi manusia secara global sudah mencapai 7 milliar manusia. Kenaikan jumlah penduduk ini tentu ditopang dengan kenaikan aktivitas ekonomi. Kenaikan aktivitas ekonomi inilah yang memicu manusia untuk terus menggunakan sumber daya alam. Eksploitasi besar-besaran dilakukan untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam bidang energi, pangan, perumahan dan tentu saja kebutuhan mereka yang paling mendasar, air.
Kebutuhan manusia akan air ini begitu mencengangkan. Dalam sebuah studinya, Postel pada tahun 2010 menyatakan bahwa jika pada tahun 1950 dibutuhkan sekitar 500 waduk skala besar untuk memenuhi kebutuhan air penduduk dunia, saat ini dibutuhkan lebih dari 45.000 waduk skala besar. Hal ini menunjukkan kebutuhan air yang meningkat 900 kali lipat hanya dalam kurun waktu 60 tahun. Kebutuhan ini diprediksi akan meningkat secara eksponensial seiring dengan pertumbuhan penduduk.
Penggunaan air permukaan yang selama ini menjadi andalan manusia dalam pemenuhan kebutuhan airnya juga diprediksi akan berlipat. Riset yang dilakukan oleh Boelee pada tahun 2011 menyatakan bahwa ada sekitar 3800 km3 air permukaan yang diambil oleh manusia per tahun. Jumlah ini cukup untuk mengaliri sungai Nil selama kurang lebih 43 tahun.
Kita juga perlu mengingat bahwa pengambilan air permukaan dikhawatirkan dapat merusak ekosistem yang ada. Pengambilan air secara terus menerus dari suatu permukaan tanpa memikirkan ekosistem pada daerah yang diambil dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius, seperti yang pernah terjadi di Los Angeles, Amerika Serikat.
Ketika kota Los Angeles mengalami pertumbuhan penduduk yang hebat, kota itu mengalami kekurangan air yang sangat parah. Karena itu, dibangunlah suatu saluran yang menghubungkan Lembah Owens dengan Los Angeles. Saluran ini merupakan salah satu saluran air terbesar dan terpanjang yang pernah dibangun manusia.
Saluran ini memang mengatasi masalah kekurangan air di kota Los Angeles yang sedang berkembang. Namun di sisi lain, ekosistem daerah tempat air ini diambil hancur. Ribuan spesies hewan dan tumbuhan di daerah Owens Valley mati. Daerah Owens Valley yang dulunya seperti surga, berubah menjadi gersang.
Los Angeles “Aqueduct”, saluran air sumber kehidupan warga Los Angeles

Hal ini merupakan salah satu contoh rekayasa air yang kurang tepat. Meybeck (2003), menyebutkan bahwa rekayasa-rekayasa teknik yang dilakukan manusia kepada air di muka bumi telah menyebabkan siklus hidrologi baru yang ia sebut “Sebuah siklus yang antroposentrik”. Siklus atroposentrik berarti sebuah siklus yang dibuat dan bersumber dari manusia.
Sebuah survey yang dilakukan oleh badan PBB untuk masalah lingkungan (UNEP) pada tahun 2010, pernah menyebutkan bahwa hampir 60% dari jalur-jalur air besar global sudah dijadikan bendungan. Survey lanjutan dari UNEP juga menyatakan bahwa, jika kita menggabungkan pengambilan air dari seluruh sumber air permukaan maupun bawah permukaan yang dilakukan oleh manusia di seluruh dunia, kita akan mendapatkan hasil yang sangat mengejutkan.
Hasil survey yang dilakukan UNEP menyatakan bahwa lebih dari 25% sungai yang sumber airnya berupa danau atau waduk, kering sebelum mencapai hilir sungai tersebut. Hal ini juga diperparah oleh fakta bahwa ekosistem air tawar di seluruh dunia sudah kehilangan 35% dari total spesies yang ada semenjak tahun 1970. Kehilangan ini jauh lebih parah daripada tingkat kehancuran ekosistem di lautan maupun di daratan (WWF, 2010).

Krisis dan Kompetisi
Peningkatan jumlah komunitas, industri, perumahan dan pertanian di seluruh dunia menyebabkan munculnya babak baru dalam usaha mendapatkan. Air kini bukanlah merupakan barang murah yang tersedia dalam jumlah melimpah. Bukan lagi sebuah benda tak berharga yang dapat kita peroleh tanpa berusaha terlebih dahulu.
Kompetisi kini sudah menjadi hal yang umum dalam mendapatkan komoditas berharga ini. Kompetisi ini kerap kali menimbulkan korban. Korbannya bukanlah para pihak yang berseteru dalam mendapatkan air, namun ekosistem air yang diperebutkan itu sendiri.
Kerusakan ekosistem air yang nyata dapat terlihat di beberapa belahan dunia. Contohnya adalah Laut Aral yang berada di Asia Tengah.
Pada zaman dahulu, Laut Aral adalah salah satu sumber air tawar terbesar di dunia. Kini, Laut Aral sudah kehilangan lebih dari 80% airnya. Hal ini terjadi karena sungai-sungai yang seharusnya menyuplai air ke Laut Aral, seperti Sungai Amu Darya dan Syr Darya, aliran airnya dialihkan untuk memberi irigasi pada industri katun di sepanjang alirannya. Daerah Laut Aral yang dulunya merupakan sebuah ekosistem yang kaya dan hijau, saat ini sudah berubah menjadi ekosistem mati. Hal yang sama juga terjadi di Sungai Colorado di Amerika Serikat.
Kapal terdampar di tempat yang dulunya Laut Aral

Ratusan sistem bendungan dan pengalihan aliran sungai menjadikan luas area Sungai Colorado yang dulunya merupakan salah satu aliran sungai terbesar menjadi hanya sepersepuluhnya saja hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 80 tahun (UNEP, 2010).
Dua kondisi di atas hanya merupakan sebagian kecil dari krisis air di seluruh dunia. Pembangunan di sektor pengairan seringkali tidak mempertimbangkan faktor kelangsungan lingkungan dan kehidupan di sekelilingnya.

Solusi dan Harmonisasi Masalah Air
Ekosistem perairan memberikan kontribusi ekosistem terbesar kepada kesejahteraan umat manusia di seluruh dunia. Air menjadi basis untuk segala kegiatan pemenuhan kebutuhan manusia seperti irigasi, industri, perkotaan dan pedesaan, transportasi, sarana rekreasi serta sarana estetika dan spiritual.
Ada beberapa solusi untuk memperbaiki kondisi hidrologi yang telah rusak. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:
1.  Mempertahankan sisa-sisa ekosistem aliran air yang masih ada
Menurut survey dari WWF pada tahun 2006, dari sekitar 177 sungai besar di dunia (sungai dengan panjang aliran lebih dari 1000 km), hanya terdapat 21 sungai yang alirannya mengalir dengan bebas menuju ke laut. Sisanya sudah teralirkan dengan sistem bendungan dan saluran-saluran untuk irigasi maupun kebutuhan manusia lainnya.
Kebutuhan untuk menciptakan daerah prioritas untuk perlindungan ekosistem air tawar sering dilupakan oleh para pemegang kebijakan. Daerah prioritas tersebut haruslah bebas dari adanya intervensi dari pihak luar terhadap kelestarian ekosistemnya. Tidak boleh ada bendungan, pemanfaatan aliran air dan intervensi lainnya.
2.   Memperbaiki aspek ekosistem yang sudah hilang
Ketika susunan ekosistem sudah terdegradasi, membangun kembali ekosistem tersebut dimungkinkan ketika analisa feasibilitas dari ekosistem tersebut sudah dilakukan.
Aspek-aspek ekosistem yang hilang dapat dikembalikan melalui usaha oleh pemerintah sendiri maupun oleh pihak swasta yang berkepentingan. Peraturan yang jelas haruslah dibuat untuk mendorong adanya pengembalian aspek ekosistem itu kembali.
3.   Memperhitungkan aspek ekonomi yang hilang karena kerusakan lingkungan
Kedua cara di atas seringkali berbenturan dengan masalah dana. Sebenarnya hal ini tidaklah perlu dipermasalahkan jika pemerintah menghitung nilai ekonomis ekosistem setelah diperbaiki. Kondisi hidrologi di daerah-daerah perkotaan dan industri yang sudah rusak sebenarnya mempunyai potensi ekonomi jika diperbaiki. Banyak sekali contoh perbaikan waduk, aliran sungai maupun danau yang malah memberikan efek ekonomi yang positif pada masyarakat di sekelilingnya.
Contoh yang nyata telah dilakukan oleh pemerintah Kanada dan Romania melalui penghitungan potensi ekonomi di Sungai Mackinzie dan Danube.
Setelah dilakukan penghitungan dengan seksama, ternyata Sungai Danube dengan segala ekosistemnya mempunyai nilai US$ 348 sampai US$ 1.883 (Tucker et al. 2010). Begitu pun dengan Sungai Mackinzie di Kanada. Seluruh nilai ekonomi yang diberikan oleh sungai tersebut mencapai 189 miliar dollar Kanada tiap tahunnya (Anielski and Wilson, 2010). Jumlah ini tidaklah sedikit dan patut diperhitungkan untuk pertimbangan perbaikan ekosistem.
Keadaan yang sama pun terjadi di Indonesia. Perbaikan sungai-sungai maupun waduk-waduk urung dilakukan oleh pemerintah dikarenakan masalah biaya.
Sebenarnya jika pemerintah mau benar-benar menghitung potensi ekonomi yang hilang karena kerusakan ekosistem, tidak ada harga terlalu mahal yang harus dibayar. Perbaikan suatu ekosistem akan menimbulkan efek berantai positif terhadap ekonomi yang sering tidak dapat diprediksi sebelumnya.
Perbaikan suatu waduk misalnya. Ketika waduk tersebut sudah dipebaiki dan dikembalikan kelestarian ekosistemnya, maka waduk tersebut dapat berfungsi sebagai sarana turisme, sarana rekreasi dan banyak lagi nilai ekonomi baru yang bermunculan.

Masa Depan Air yang Aman Bagi Lingkungan dan Umat Manusia
Pada dasarnya, seluruh kehidupan manusia dan aspek lingkungan sangat berkaitan erat. Aspek sosial, kultural dan sistem ekonomi tidak dapat dipisahkan dengan ekosistem lingkungan yang berada di sekelilingnya.
Tantangan akan masa depan air di dunia ini tidak dapat dipecahkan hanya melalui pemecahan persoalan-persoalan yang sudah ada. Permasalahan air di seluruh dunia sebenarnya terletak pada aspek hubungan fundamental manusia dengan air seiring dengan masalah-masalah ekonomi, sosial dan ekosistem yang menyertainya.
Mengatasi permasalahan air menuntut manusia untuk mencari cara baru dalam menjalankan kehidupannya selaras dengan alam. 9 miliar manusia di planet ini pada tahun 2050 pasti membutuhkan akses air yang jauh lebih banyak dan kompleks ketimbang sekarang. Kalau kita tidak mencari jalan supaya dapat hidup selaras, kita harus bersiap untuk menghadapi bencana lingkungan yang tidak kita duga sebelumnya.
Bukankah Thales sudah mengingatkan kita 2500 tahun yang lalu......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...